logo

on . Hits: 12020

Perlindungan Hak-hak Perempuan Pasca Perceraian

 

Angka perceraian di Indonesia setiap tahun merangkak naik. Sesuai dengan data yang dilapokan oleh Badan Pusat Statistik, pada tahun 2021 tercatat 447.743 kasus perceraian dengan rincian 110.400 cerat talak 337.343 cerai gugat. Angka tersebut naik 53,50% dari tahun 2020 yang hanya mencapai angka 291.677 perkara.

Akan tetapi dibandingkan angka perceraian tersebut, ada persoalan yang lebih mendasar, yaitu hak-hak perempuan yang sering kali tidak terpenuhi ketika terjadi perceraian. Ada dua pertanyaan penting yang perlu dijawab dalam tulisan ini. Pertama hak apa saja yang seharusnya di dapatkan oleh perempuan ketika bercerai? Apakah hak-hak tersebut diatur dan dilindungi oleh aturan perundang-undangan?

Untuk menjawab pertanyaan pertama kita bisa merujuk pada ketentuan hukum, baik hukum positif atau hukum Islam. Setidaknya ada tiga hak mendasar bagi perempuan yang masih menjadi kewajiban suami ketika terjadi peceraian. Ketiga hak itu adalah mut’ah,  nafkah iddah dan nafkah madhiyah.

Mut’ah adalah pemberian materi dari suami kepada istri yang dicerai, dengan tujuan untuk menyenangkan hati istri dan untuk mengganti rasa sakit akibat perceraian tersebut. Sedangkan nafkah iddah adalah nafkah dalam bentuk pangan, pakaian, dan tempat tinggal, yang diberikan suami kepada istri pada masa iddah yang dicerai dalam bentuk talak raj’i.

Nafkah madhiyah adalah nafkah yang telah lewat waktu, yang belum dibayarkan oleh suami ketika dalam ikatan pernikahan, saat terjadi perceraian istri diperbolehkan menuntut nafkah tersebut. Nafkah madhiyah merupakan istilah yang digunakan pada putusan Pengadilan Agama untuk menetapkan nafkah lampau. 

Ketiga hak tersebut juga dilindungi oleh aturan perundang-undangan, seperti pada Undang-Undang no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 41 huruf c, menyebutkan bahwa “pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan seuatu kewajiban bagi bekas istri.”

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149 juga disebutkan bahwa jika perkawinan putus karena cerai talak, maka ada empat kewajiban yang harus ditanggung oleh suami. Pertama, mut’ah yang layak kepada bekas istri, bisa berupa uang atau barang, dalam hal ini mut’ah boleh tidak dibayarkan jika perceraian terjadi sebelum terjadi hubungan suami istri. Kedua memberikan nafkah iddah, yaitu memberikan uang belanja, pakaian, dan tempat tinggal dalam jangka waktu masa iddah. Ketiga, melunasi mahar yang belum terbayar secara penuh, tapi jika perceraian itu terjadi sebelum hubungan suami istri maka cukup membayar separoh saja. Keempat, memberikan biaya hadhanah bagi anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Pengecualian bagi poin kedua yaitu tentang nafkah iddah, kewajiban suami bisa gugur jika istri dijatuhi talak bain atau istri melakukan nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Artinya suami hanya berkewajiban membayar mut’ah, melunasi mahar jika masih terhutang, dan biaya hadhanah bagi anak. 

Untuk melindungi ketiga hak tersesut, sebenarnya Mahkamah Agung telah mengeluarkan surat edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2018, menyempurnakan apa yang telah tercantum pada Surat Edaran Mahkamah agung No 07 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa “Hakim dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut’ah dan nafkah anak, harus mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta kemampuan ekonomi suami dan fakta kebutuhan dasar hidup istri atau anak.”

Yang menjadi catatan penting adalah dengan adanya SEMA No 3 Tahun 2018, istri berhak mendapatkan mut’ah dan nafkah iidah dalam perkara cerai gugat dengan syarat ia tidak terbukti nusyuz. Karena pada aturan sebelumnya ketiga hak itu hanya dapat didapatkan melalui cerai talak.

Oleh karena itu, setelah adanya aturan ini hak-hak perempuan pasca perceraian bisa diperoleh baik melalui cerai talak yaitu permohonan cerai dari pihak suami atau cerai gugat yang diajukan oleh istri dengan syarat istri tidak melakukan nusyuz.

Untuk memperkuat jaring pengaman dalam melindungi hak-hak perempuan di depan hukum Mahkamah agung juga mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Peraturan tersebut berisi berbagai macam pedoman bagi hakim dalam memeriksa perkara yang melibatkan perempuan sebagai para pihaknya. Proses pemeriksaan perkara yang melibatkan perempuan harus benar-benar mengedepankan keadilan gender dan menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan.

Tidak hanya itu, pada tahun 2021 Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mengeluarkan sebuah surat keputusan Nomor 1669/DJA/HK.00/5/2021 tentang Jaminan Pemenuhan Hak-hak Perempuan dan anak Pasca Perceraian. Dalam surat tersebut ada himbauan yang harus diperhatikan oleh setiap Pengadilan Agama dalam memberikan layanan terhadap perempuan.

Di antara himbauan tersebut adalah pertama, memastikan tersedianya informasi mengenai hak-hak perempuan dan anak dengan berbagai media. Kedua,  memastikan petugas informasi pada PTSP pengadilan memahami hak-hak perempuan dan anak, sehingga mampu memberikan informasi secara jelas. Ketiga, menyeleksi secara ketat petugas posbakum yang bertugas di pengadilan, dan memastikan petugas tersebut mengetahui tentang hak-hak perempuan dan anak sehingga mampu memberikan informasi kepada pencari keadilan. Keempat, menyediakan blanko/formulir surat gugatan yang mencantumkan tuntutan hak-hak perempuan dan anak. Kelima, menata kembali layout posbakumsesuai dengan keputusan Dirjen Nomor 1403.b/DJA/SK/OT.01.3/8/2018. Keenam, mewajibkan seluruh hakim untuk menerapkan seluruh aturan terkait jaminan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian. Ketujuh, melakukan kerja sama dengan lembaga terkait guna memastikan dijalankannya isi putusa Peradilan Agama yang mencantumkan hak-hak perempuan dan anak.

Semua aturan perundang-undangan di atas pada dasarnya memperkuat posisi perempuan di hadapan hukum agar mendapatkan proses pemeriksaan yang adil tanpa diskriminasi, sehingga mereka mampu mendapatkan hak-haknya secara penuh. Akan tetapi jika melihat praktiknya di tengah masyarakat hak-hak tersebut belum sepenuhnya terpenuhi. Mengapa demikan?

Jika dianalisis setidaknya ada dua faktor. Pertama, banyak perempuan yang tidak memiliki pengetahuan tentang hak-hak tersebut, sehingga mereka tidak meminta hak tersebut ketika terjadi perceraian. Kedua, perempuan tersebut tahu tentang hak-hak itu, tetapi tidak bisa atau tidak mampu mendapatkannya dari pihak suami, hal ini dikarenakan perceraian tersebut terjadi di luar Pengadilan.

Untuk itu agar hak-hak perempuan tersebut terpenuhi, maka selain berbagai macam aturan hukum yang telah dijelaskan di atas perlu membangun kesadaran dari berbagai pihak. Pertama, tentunya pihak perempuan yang sebaiknya menyadari dan memahami bahwa ia memiliki hak tertentu yang bisa dituntut ketika bercerai dengan suaminya. Kedua, I’tikad baik dari suami, sebagai kepala rumah tangga seharusnya ia memahami kewajibannya terhadap istrinya baik ketika masih berstatus sebagai istri sah, ataupun ketika bercerai.

Kedua dukungan dari para penegak hukum, dalam hal ini adalah Hakim dengan memberikan putusan yang adil dan mengakomodir hak-hak perempuan,  Advokat dengan memberikan bantuan hukum dan pendampingan yang sebaik-baiknya dalam kepada pihak yang membutuhkna jasa profeisnya khususnya perempuan, dan berbagai pegawai pengadilan yang bisa memberikan informasi atau pelayanan yang terbaik agar para pihak bisa mendapatkan keadilan dan hak-haknya secara utuh

Hubungi Kami

Jl. Kapten Piere Tendean No.45, Kel. Baruga, Kec. Baruga Kota Kendari, Sulawesi Tenggara - 93116

Telp: (0401) 3190303 - 3190303

http://www.pa-kendari.go.id/

This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor

https://simrab.umkendari.ac.id/sistem/?portal=Slot%20Gacor